ads

banner

Slider[Style1]

Style2

Style5

Mars Pemuda - SPoeR



Bangunlah wahai pemuda
 Mari rapatkan barisan 
 Jadilah pejuang sejati 
Siap menggulingkan setiap tirani

 Mari kobarkan api 
Dari jiwa kita suci 
Tuk membebaskan negeri ini 
 Dari tangan-tangan- serakah 

Ayo berseru- Mari bersatu 
rakyat pasti menang 
 Ayo berseru- Mari bersatu
rakyat pasti menang 

 Orasi..
" Hari ini kita kaum muda yang berfikiran dan bertindak maju Bersatu dan berjuang bersama untuk perubahan nasib rakyat, Rakyat yang berabad-abad lamanya diperas, dihisap darah dan tenaganya oles setan-setan sejarah. Feodalisme, kapitalisme, imperialisme. Karenanya, wahai kaum muda yang berfikiran dan bertindak maju, kerahkan jiwamu tuk hancurkan kepala batu,. Merah darah rakyat, merah darah kita, jadikan merah darahmu menjadi api besar revolusi yang membakar tiap bentuk penindasan. Tiap saat kita, satukan hidupmu pada gerakan yang suci untuk membebaskan rakyat, ayo berseru, mari bersatu rakyat pasti menang."

Cerpen: Copet

Ku dapati tubuhku terbaring lemah di pembaringan. Mata pun mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

Putih... ruangan itu tampak putih semua, benda-benda yang ada di situ pun terlihat terang. Aku bingung sendiri, di mana aku? Ku bangkitkan tubuhku, terasa sakit di sekujur, ku raba wajahku, ada benjolan di dahi dan bibir, ada balutan perban di pelipis kiriku. Aku hanya meringis menahan sakit. Ku perhatikan lagi seluruh keadaan seluruh tubuhku, lebam di sana-sini. Kembali ku edarkan pandanganku, ku raba semua kantong celanaku. Hilang...!! Dompetku, HP ku, tasku !! Hah...?

 *** 

Sekali lagi ku periksa dompetku begitu sampai di terminal. Alhamdulillah masih ada. Sebelum berangkat teman-temanku selalu berpesan agar aku berhati-hati di jalan, Jakarta adalah kota besar yang memiliki banyak macam tingkah polah manusia, dari yang baik sampai yang jahat, dari yang tinggal di apartemen sampai yang tinggal di kolong jembatan, dari orang yang bisa mengaku waras sampai orang yang mengaku gila. Ya, kebaikan sangat tipis jaraknya dengan kejahatan.


Salah satu temanku yang pernah ke Jakarta pernah kecopetan di dalam bus. ”Biasanya banyak copet beraksi di dalam bus, terlebih saat bus penuh dan para penumpang berdesak-desakan. Itu merupakan lahan empuk bagi para pencopet” kata temanku itu beberapa waktu lalu. Ku lanjutkan langkahku. Akhirnya ku injakkan juga kakiku di ibukota negara Indonesia ini. Aku berjalan di sekitaran terminal. Ku anggukkan kepalaku pada seorang pedagang asongan yang tampaknya sedang ngaso.

 “ Monggo mas..” kataku. Pedagang itu hanya menoleh kemudian melanjutkan pekerjaannya. Ah.., inikan Jakarta! Nggak pake "monggo" mestinya, aku tersenyum sendiri. Aku pun melangkah lagi, sebelum akhirnya ku dapati bus arah Ciputat.

Di dalam bus itu aku tak mau lengah, meskipun cape’ yang ku rasa saat ini. Tak ingin aku kecopetan seperti yang dialami temanku. Seorang ibu berperawakan agak gemuk tersenyum kepadaku. Ibu itu duduk persis di sebelah kiriku. Di pangkuannya ada tas besar yang entah isinya apa.

 “Adik mau ke mana?” Tanya ibu itu.
“Ciputat, bu” sahutku. Ibu itu tersenyum. Mungkin ibu itu menertawakan logatku yang Jawa banget. Ku perhatikan ibu itu. Meski sedikit gemuk, tapi ia terlihat cantik.

Lagi-lagi pesan teman-temanku terngiang di telingaku. “Kamu harus hati-hati, Rin, jangan lekas percaya pada orang,” pesan seorang teman menjelang keberangkatanku. “Ingat, Rin, kalau tidak terlalu penting, jangan ngobrol dengan sembarang orang di dalam bus. Apalagi kamu cewek, takut kalau kamu kena hipnotis nanti,” lanjutnya lagi. “Iya, tidak usah khawatir,” sahutku pada temanku itu singkat.

Aku maklum dengan kecemasannya yang berlebihan melepas kepergianku. Sebelumnya aku memang tidak pernah pergi ke Jakarta. Kalau pergi paling hanya di sekitaran Jogja. Maklum, aku hanya tahu Jogja meskipun sekarang kota itu sudah banyak mengalami perubahan, namun bagiku tetap berhati nyaman. Tapi kali ini aku terpaksa ke Jakarta, mengadu nasib di sana. Tak ada yang bisa menemaniku. Semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Udara sangat panas. Ku kipas-kipaskan koran yang ada di tanganku. Lumayan dapat menghadirkan sedikit angin untuk mengusir gerah.

 “Mau ngemil, dik?” Ibu itu menawarkan sebungkus kacang goreng kepadaku.

 “Terima kasih, Bu, saya masih kenyang.” Ku tolak halus tawaran Ibu itu. Aku tak mau ambil resiko dengan sembarangan menerima tawaran orang untuk makan, bisa jadi obat bius yang dimasukkan melalui makanan.

“Astaghfirullahaladzim…!” ucapku lirih. Aku tidak bermaksud berburuk sangka pada ibu itu, tapi aku hanya sekadar berhati-hati.

Bus berhenti. Ada penumpang yang naik. Seorang laki-laki berambut gondrong dan berpakaian agak lusuh. Sepertinya ia berasal dari golongan kelas bawah. Aku patut curiga dengan orang ini. Keterbatasan ekonomi mungkin saja membuatnya nekat. Hal-hal semacam itu sering aku lihat dalam tayangan kriminal di televisi. Jangan-jangan sasarannya kali ini adalah aku. Ih…aku bergidik. Jantungku berdetak makin cepat saat laki-laki itu memilih duduk tepat di sebelah kananku. Bau keringat menyeruak ke dalam penciumanku.

Ya Allah, lindungi aku. Ku pegang tasku erat-erat. Aku harus hati-hati dengan laki-laki ini. Sepanjang jalan perasaanku tidak tenang. Rasa hausku pun terpaksa ku tahan. Aku tak berani membuka tasku untuk mengambil air kemasan di dalamnya. Aku takut kalau laki-laki di sampingku tahu segala isi tasku. Ku lirik laki-laki gondrong di sebelahku. Ia diam terpaku di tempat duduknya, entah apa yang dipikirkannya. Selang beberapa jam, bus berhenti. Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya. Rupanya ia sudah sampai di tempat yang ditujunya. Aku menarik napas lega. Ku periksa tas kecilku. Alhamdulillah, dompetku masih ada. Ku reguk air kemasan yang ku beli di terminal tadi. Lumayan untuk mengusir rasa haus yang ku tahan sejak tadi. Ku lihat ibu di sebelahku begitu tenang terlelap. Suara bising dari pengamen di dalam bus seolah menjadi nyanyian pengantar tidurnya.

Untuk yang kesekian kalinya bus berhenti lagi. Seorang laki-laki seumuran kakakku masuk. Ia duduk di sebelahku. Pakaiannya bersih, rapi, dan wangi. Ia juga berkaca mata. Penampilannya sangat berbeda dengan laki-laki berambut gondorong tadi. Dari penampilannya, aku yakin bahwa ia orang baik-baik. Tak ada yang perlu ku curigai dari dia. Tapi bukankah banyak penjahat sekarang berpakaian rapi?

“Mau ke ciputat, Mbak?” tanyanya sopan.

“Iya, Mas,” sahutku ringan. Laki-laki itu hanya tersenyum.

 “Saya mau menjenguk saudara saya di Ciputat,” katanya. Aku senang, kali ini aku tidak perlu ketakutan seperti tadi. Aku aman. Kedua orang yang duduk di sebelahku adalah orang baik-baik.

Akhirnya aku tenggelam dalam obrolan-obrolan ringan bersama laki-laki yang baru ku kenal itu. Bus berhenti. Ku raba saku celanaku, hapeku masih ada. Kembali ku periksa tasku. Aku tersenyum lega. Alhamdulillah dompetku masih ada.

“Kenapa, Mbak?”.

“Oh…eh… anu..., Tidak apa-apa, Mas” Aku tersenyum malu. Rupanya laki-laki itu mengawasiku sejak tadi. Mungkin laki-laki itu heran melihatku yang selalu memeriksa tas.

“Anu-mu emangnya kenapa?” Laki-laki itu bertanya sambi tersenyum ke arahku. Aku jadi serba salah. Telingaku agak panas mendengar pertanyaannya. Apakah di Jakarta orang bebas bicara sesuatu yang mungkin kurang pantas? Mungkin wajahku saat itu bersemu merah, karena malu. “Kita memang harus hati-hati, Mbak, banyak copet di mana-mana.” Laki-laki itu seolah dapat menebak jalan pikiranku. “Kadang pencopet bisa berpura-pura sebagai orang baik dan mereka pun punya banyak cara untuk melancarkan aksinya” lanjut laki-laki itu lagi. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sepertinya laki-laki ini tahu banyak tentang seluk-beluk copet. Ah, mungkin dulunya ia pernah dicopet, ungkapku dalam hati.

*** 

Angin berhembus masuk melalui jendela bus. Pinggangku terasa sudah mulai penat karena terlalu lama duduk. Kalau saja bus yang ku tumpangi ini tidak sering berhenti, sudah sejak tadi aku tiba di Ciputat. Ku lirik arloji di pergelangan tanganku. Pukul 09:00 WIB. Laki-laki di sebelahku tertidur sejak tadi. Mungkin ia kelelahan sehingga tidak sanggup menahan kantuknya.

Bus kembali berhenti untuk menaikan penumpang. Ku harap ini adalah terakhir kalinya bus berhenti sebelum tiba di Ciputat. Tiga orang penumpang naik. Sepasang suami istri yang masih muda beserta anak mereka yang masih balita.

“Mas dan Mbak silakan duduk di sini, biar saya yang berdiri” Naluri kemanusiaanku muncul. Aku tak tega melihat mereka berdiri. Istrinya sedang hamil, sementara anaknya sedang terlelap dalam gendongan ayahnya.
“Terima kasih, Dik.” Mereka tersenyum ramah kepadaku. Tak ada yang perlu ku curigai dari mereka. Alhamdulillah, aku senang, ternyata kekhawatiran teman-temanku tidak terbukti. Tak ada copet atau pun tukang bius di dalam bus yang ku tumpangi ini.

 Bus sudah memasuki Pondok Indah. Bus kembali berhenti. Beberapa penumpang naik. Tak lama bus itu jalan lagi. Ternyata laki-laki yang tadi menjadi teman ngobrolku beserta satu orang penumpang lainnya turun. Lumayan lelah juga berdiri, tapi tak apalah, sedikit berkorban untuk orang yang lebih memerlukan.

Selang beberapa menit kemudian, perlahan bus memasuki terminal. Penumpang berdesakan turun. Ku apit tasku kuat-kuat, tak akan ku biarkan tangan jahil menjarahnya. Si ibu hamil itu pun hendak turun tampaknya. Aku segera mengisi bangku kosong yang ditinggalkan ibu itu. Namun ibu itu tak juga turun meskipun sudah di depan pintu. Ia tampaknya kebingungan, ku perhatikan gerak-geriknya, tiba-tiba tanpa ku duga sebelumnya ibu itu menudingku.

 “Copet... “ teriaknya mengejutkanku. Penumpang yang lain sontak melihat ke arahku, mereka pun beraksi. Aku tak bisa mengelak ketika sebuah pukulan melayang di tengkukku.

“Periksa tasnya..”, teriak ibu itu

“Nggak nyangka, cantik-cantik maling...” teriak yang lain sembari memberikan pukulan dan tendangan ke tubuhku. “Lihat kantongnya” teriak sopir dari depan.

“Aku bukan copet... bukan...” Aku membela diri sambil menghindari pukulan yang bertubi-tubi dari penumpang yang lain. Namun cengkraman seorang pemuda di tanganku semakin membuatku tak berdaya. Tas di tanganku pun hilang entah ke mana.

BUK! Sebuah tendangan keras mendarat tepat di ulu hati. Aku hanya bisa mengaduh kesakitan. Jambakan, pukulan hingga tendangan tak bisa ku hindari. Tak ada yang mau menolongku, hanya kebencian dari wajah mereka begitu melihatku.. Satu pukulan lagi mendarat di bibirku, darah pun mengalir. Aku tersungkur, Penglihatanku berkunang-kunang menggulita, gelap pun menghampiri.


Wins '09

Bersenanglah

Gemericik air yang mengalir dari selokan samping dapur
Tempatku bercengkrama bersama anak-anak itu
Serasa suara hujan yang tercurah dari langit
Di hadapan bocah-bocah itu kumulai ceritaku
Terserah, mengalir begitu saja dari mulutku
Yang penting mereka senang fikirku

Ku hisap rokok di tengah kekeh mereka akan ceritaku
Memang  itu yang ku ingini dari mereka
Keceriaan
Kegembiraan
Kesenangan
Juga kemerdekaan
Tanpa ada larangan untuk tertawa
Tanpa berbatas usia
Tiada kedudukan lebih tinggi
Hanya di emperan teras dapur

Aku hanya menginginkan kesenangan bagi mereka
Kemerdekaan akan saling mencintai
Tanpa nafsu jabatan
Tanpa  syahwat politik
Tanpa birahi kekuasaan


Hanya sebuah catatan di pengungsian
(Wins)

Gondowangi, 1 Desember 2010

Maaf, Kau Harus Pergi

Kawan...
Pongah, kau menantang menerjang
bak pejuang yang terus berteriak lantang
Seakan serak memilu  takkan pernah  bertandang
Kau lumat habis kisah yang kau ukir, hingga hingga asa itu menghilang
Aku tahu kejenuhan kerap menghampiri
Kegalauan kadang kala terselip dalam sepi
Pada akhirnya, kau nikmati lagu  kegelisahan hati

Kau kini sendiri,
Terkulai lemas tak bernyanyi
Bahkan sang penyanyi pun tak sudi menghampiri

Maaf, bukan aku tak peduli
Yang kurasa aku telah kehilangan
mu, sahabat yang sangat ku kagumi.
Sekali lagi maaf, aku tak pernah berharap kau kembali lagi.
Tak mungkin bagiku berteman dengan orang suci
Atau berceloteh ria dengan  manusia yang sangat berbakat jadi nabi.

(Wins)

Yogyakarta, 26 Oktober  2011

SENANDUNG DENGKUR

Di tegah lelapnya malam...
Seirama lolongan anjing yang meredup redam...
Di antara rintihan keangkuhan yang menikam...
Menyayat senandungmu dalam dengkur yang kian mencekam..

Di alasmu yang bau dan berdebu...
Kau masih bisa bersenandung dengan iramamu...
Sementara nyanyianmu serasa rintihan dalam tawa kelakar  yang menderu..
Bisingnya yang berlalu kian mengganggu lagumu...

Nyamuk-nyamuk sial kini mengakrab denganmu...
Nyanyian mereka yang bermain di telingamu seibarat nada penghiburmu...
Tubuhmu seakan santapan lezat mereka yang semakin tumbuh subur di genangan comberan dan gunungan sampah yang membau...

Senada tangisan yang mengalun di antara angin yang perlahan menyusut............
Segala irama bagai meredup dan mengendap dalam gelap...........
kau masih bersenandung...

Alam raya terkesima dan seketika bungkam...
Kudengar senadungmu kawan...


Dini hari di sudut kota
Yogyakarta,  8 Mei 2010

Belati Itu

Mungkin aku tak bisa ungkapkan rasa apa yang ku rasa ketika ku tikam kau kemarin.
Tapi jauh tersimpan perih ketika ku paksa tanganku mengelap darah yang menempel di belati itu.
Jauh aku merasakan keperihan ketika harus kutahan gejolak emosi.
Karena aku takkan membiarkan rasa kasihan menyelimuti perasaanku.
Aku bukan orang dekatmu, tapi kau memaksaku melakukan hal yang tak ingin aku lakukan. Ah......... selamat jalan sobat.
Belatiku akan selalu mengingatkanku padamu, dan kilauan matanya selalu membayangkan darah yang mengalir dari pangkal sampai ke ujung dan menetes tepat di penghujung akhir nafasmu. ( wins )

Catatan tentang musik perlawanan

Musik telah menjadi bagian dari revolusi sejak awal. Tidak ada revolusi tanpa komunikasi dan debat, dan musik adalah bagian dari hal itu. Kita bisa mengenal deretan pemusik yang telah menjadi bagian dari inspirasi revolusi, seperti Victor Jara di Chile, Silvio Rodríguez di Cuba, Karel Kryl di Czechoslovakia, Jacek Kaczmarski di Polandia, dan Vuyisile Mini di Afrika Selatan. Di belahan dunia barat, nama John Lennon dan Bob Dylan menjadi inspirator utama dari pergerakan kaum muda dan kelas pekerja.
Di Indonesia, terutama dalam pergerakan nasional, nama WR Supratman cukup terkenal dan lagunya “Indonesia Raya” menjadi lagu pergerakan nasional saat itu. Ketika situasi revolusioner sedang memuncak paska Kemerdekaan, salah satu lagu pembakar semangatnya adalah lagu “darah rakyat”. Menurut Soe Hok Gie, dalam rapat akbar di lapangan Ikada, lagu “darah rakyat” dibagikan kepada ratusan ribu massa dalam bentuk pamflet dan dinyanyikan secara bersama-sama.
Memahami arti penting musik dalam perjuangan kemerdekaan, JAKER telah mengumpulkan sejumlah seniman progressif untuk berbicara, diantaranya Ras Muhamad, Franky Sahilatua, Cholil Efek Rumah Kaca, dan Rizal Abdulhadi. Mereka berbicara mengenai perkembangan musik kontemporer, jebakan industri musik, dan bagaimana melahirkan pergerakan musik revolusioner. Hadir pula penulis buku “Soekarno dan perjuangan kebudayaan”, Nurani Suyomukti, khusus berbicara mengenai arti penting musik dalam kerangka perjuangan ideology kelas.
Menurut Nurani, industri bukan hanya mengkomersilkan seni, tetapi telah menjadi aparat ideology kelas berkuasa untuk menaklukkan kesadaran rakyat. Nurani memang betul, seperti juga dikatakan Louis Althuser, bahwa seni komersil telah menjadi apparatus ideologis klas borjuis untuk reproduksi sosial sistem kapitalisme. “Musik komersil benar-benar tidak manusiawi” kata Nurani. “Musik tidak pernah netral,” kata Nurani, “mereka selalu menjelaskan keberpihakan kepada klas sosial tertentu”.
Dalam masyarakat kapitalis, musik berfungsi bukan hanya sebagai mesin mencari keuntungan (akumulasi profit), namun telah menjadi instrument integrasi sosial di bawah dominasi ideology klas berkuasa. Kalangan liberal selalu berlindung di balik “kemurnian bermusik”, bahwa musik adalah musik, tidak ada politik, ideology, dan kepentingan apapun di dalamnya selain kepentingan estetik dan naluri seorang pemusik. Pada kenyataannya,  musik adalah produk dari refleksi fikiran (otak) manusia terhadap keadaan sekitarnya, tidak mandiri, dan selalu terikat dengan ideology klas tertentu.
Dalam kaitan ini, Nurani hendak membuktikan bahwa penghancuran karakter kaum muda Indonesia saat ini, sedikit banyaknya, terkait dengan hegemoni musik “sampah” yang disebar-luaskan oleh industri musik. Seorang pelajar, misalnya, lebih menghafal lagu-lagu dari band-band yang sedang nge-trend, seperti Kangen Band, ST-12, Hijau Daun, Kuburan Band, dsb. daripada lagu-lagu nasional dan kebangsaan. Bahkan, karena derasnya serangan hegemonik industri musik tersebut, anak kecil pun terbawa oleh pengaruh lagu cemen—demikian Nurani menyebutnya. Untuk itu, Nurani menganjurkan agar kalangan pergerakan tidak menafikan arti penting lagu-lagu perlawanan, sebuah anti-tesa terhadap lagu-lagu dari pasar mainstream.
Lagu-lagu perlawanan di sini bukan hanya lagu-lagu ciptaan para aktivis, tetapi juga lagu-lagu rakyat di berbagai daerah yang memiliki kandungan progresivitas. Nama “Marcus Garvey”, kalau tidak ada musik Bob Marley, maka anak muda di jaman sekarang tentu sedikit sekali yang mengenalnya. Dengan kehadiran Bob Marley untuk menyanyikan lagu-lagu reggae dan mengangkat begitu banyak soal filosofi sosial, maka anak muda bisa banyak belajar dari ajaran-ajaran Garvey, dan terutama sekali mengenai sikap anti-imperialismenya.
Musik reggae bukan hanya menjadi inspirasi bagi “Pan African” dalam melawan neo-kolonialisme, tetapi telah menjadi “identitas” dunia ketiga yang berhasil menembus dunia Eropa dan negara kapitalisme maju. Itulah musik reggae, salah satu genre musik perlawanan sejak awalnya. Ras Muhamad, salah satu pemusik Reggae Indonesia mencoba untuk mengambil pelajaran dari Bob Marley, filosofi Haile Selassie dan tidak ketinggalan tokoh pembebasan nasional Indonesia, Bung Karno. “Musik harus memiliki nilai fighting spirit,” kata Ras Muhamad.
Musik Reggae, kata Ras Muhamad, telah berevolusi bersama dengan perjuangan rakyat Afrika dan dunia ketiga. Reggae politik pernah tumbuh subur dengan tokoh-tokohnya seperti Bob Marley, Peter Tosh, Winston Rodney alias Burning Spear, dan kemudian Jimmy Cliff dan, di London’s Brixton, Kwesi Linton Johnson – yang juga sangat dipengaruhi oleh kemenangan perjuangan anti-kolonial yang melanda Afrika tahun 1960-an dan perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan.
Dalam perjuangan, menurutnya, musik harus ambil bagian secara langsung dan, terutama, menjadi alat untuk menyadarkan dan menggerakkan massa rakyat. Tidak heran, Ras Muhamad pernah membuat lagu berjudul “Siempre”, mengisahkan mengenai perjuangan Che Guevara sebagai tokoh pembebas kaum tertindas, dan lagu ini untuk menginspirasikan kepada kaum muda untuk melakukan yang sama dengan Che. Dalam album Next Chapter, Ras Muhamad dengan terang-terangan mengarahkan “bedil” perlawanan kepada politisi korup, musik komersil, dan kapitalisme. “musik reggae harus bergandengan tangan dengan perjuangan rakyat,” tegasnya. Untuk diketahui, Ras Muhamad adalah pengagum berat Bung Karno, dia menyimpan sejumlah koleksi-koleksi mengenai fikiran dan gagasan-gagasan tokoh pembebasan nasional ini. Ras muhamad mengutip Bung Karno, bahwa seni harus membentuk kepribadian bangsa yang sejati, progressif, dan anti imperialisme.
Sementara Cholil (Efek Rumah Kaca) tidak berbeda jauh secara prinsip dengan Ras Muhamad, ia hanya menekankan soal metode bagaimana musik bisa membangkitkan dan menggerakkan massa rakyat. Dalam lagu-lagunya, meskipun sudah bisa bertarung di jalur mainstream, namun tetap menyertakan kritik-kritik sosial yang tajam. Selain topik hak asasi manusia seperti pada lagu Di Udara, Efek Rumah Kaca, yang beranggotakan Cholil, Adrian (bas), dan Akbar (drum), punya lagu lainnya yang sarat akan kritik sosial. Sebut saja, misalnya, Jalang, yang mengkritik Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi; Belanja Terus Sampai Mati tentang budaya hidup konsumerisme; dan Cinta Melulu, yang mengkritik industri musik pop yang mayoritas mengangkat tema cinta. “Seolah-olah tidak ada tema lainnya,” kata Cholil.
Terkait dengan musik perlawanan, Cholil mengatakan; “Mungkin musik harus “menggelitik” dahulu bahwa ada sesuatu yang salah, belum sampai pada perlawanan. Dengan begitu, karena genre pop peminatnya sangat besar, maka kita juga bisa menggelitik orang dalam jumlah besar”. Menurut Cholil, kita memang bisa menunggangi “industri” untuk menyampaikan pesan kepada banyak orang, tetapi ini bisa membawa konsekuensi: kita tetap konsisten dengan prinsip ataukah justru terkontaminasi dan terbawa pengaruh. “Ini tergantung kepada seberapa kuat kita mempertahankan prinsip,”tegasnya. Secara pelan-pelan, menurut Cholil, orang mulai mencari tahu mengenai isi lagu itu, apakah ada yang salah dengan keadaan, sehingga mulai membentuk sebuah “kesadaran baru”. Jadi, kesadaraan itu bisa muncul melalui instrumen media kapitalis. “mereka pemusik mainstream kan hanya menjadi pedagang”, kata Cholil, “jadi susah untuk berbicara musik dengan pedagang.
Dalam industri musik, soal  skill menjadi tidak terlalu penting, asalkan nadanya indah, punya modal, menguasai marketing, dan bersedia dikendalikan oleh pasar. “Kalau musik perlawanan akan meluas, maka pasar akan berupaya untuk merangkulnya,” katanya. Pendapat lebih tegas datang dari Rizal Abdulhadi, seorang baladis muda yang sangat mengagumi pemusik revolusioner Chile, Victor Jara. Dia menganggap musik seperti “kompor” yang terus membakar semangat revolusioner massa. Lebih jauh, Rizal menekankan pentingnya teori 1-5-1 dalam berkarya, yaitu politik sebagai panglima, meluas dan meninggi, prinsip 2 T (tinggi mutu ideology dan tinggi artistic), memadukan antara realisme revolusioner dan romantisme revolusioner, Memadukan tradisi baik dengan kekinian revolusioner, dan Turun ke bawah (Turba).
Musik revolusioner sangat dipengaruhi oleh situasi revolusioner,” kata Rizal, “sehingga wajar kalau musik revolusioner agak tenggelam di masa tidak revolusioner seperti saat ini”. Tugas musisis revolusioner, menurut Rizal, adalah tetap berkarya dan terus membangkitkan kesadaran massa rakyat. Peranan musik yang begitu kuat dalam perjuangan diutarakan oleh Franky Sahilatua, bercermin dari pengalaman WR. Supratman dan lagu “Indonesia Raya”-nya dalam perjuangan pembebasan nasional di Indonesia. “ketika deklarasi sumpah pemuda tahun 1928, para pemuda-pemudi hanya mendengar nadanya saja, namun mereka bisa begitu tergugah dan semakin bersemangat untuk memperjuangkan Indonesia Merdeka,” ungkapnya.
Lagu “Indonesia Raya”, katanya, merupakan salah satu petunjuk jalan bagi tokoh pergerakan saat itu mengenai Indonesia di masa depan—Indonesia merdeka. Pada tahun 1996, Franky mencipta lagu berjudul “Perahu Retak”, sebuah lagu yang turut menginspirasi kaum muda di gang-gang sempit dan pemukiman kumuh dalam perjuangan melawan kediktatoran Orde Baru. “Lagu itu saya buat hanya beberapa hari menjelang peristiwa 27 Juli 1996 di Kantor PDIP Perjuangan, Jalan Diponegoro,” kata Franky mengenang peristiwa itu.
Menurut Franky, sebuah nada akan memiliki energi kalau enak di dengar dan akrab di telinga rakyat, dan sebuah lirik juga akan berenergi jikalau itu mencerminkan keresahan dan kehendak rakyat. Soal musik, Franky membagi menjadi dua kutub; ada pohon musik pop dan ada pohon musik perlawanan. Usaha untuk memadukan kedua pohon ini merupakan sesuatu yang sulit, apalagi hari ini. Pada masa Orde Baru, menurut Franky, kedua pohon ini masih berdempetan atau berdampingan secara dekat, sehingga memungkinkan untuk menunggangi pohon pop untuk menyuarakan perlawanan. Sekarang ini situasinya sudah berbeda, pohon musik pop dan musik perlawanan sudah terpisah sangat jauh, sehingga kita harus memilih secara tegas; bermusik untuk menciptakan uang atau bermusik untuk menciptakan sejarah. Disamping itu, menurutnya, pemusik harus bisa mengikuti perkembangan keadaan dan mengerti bagaimana cara membaca keadaan. Dia mencontohkan, lagu “darah juang” sangat cocok pada masa kediktatoran, situasi senyap, namun sekarang kurang tepat. Sekarang ini, menurutnya, kita memerlukan musik yang menghentak, yang membangkitkan rakyat dari tidurnya. “Anda adalah tempe, daging, tahu, sayur, tetapi akan menjadi hambar rasanya kalau tak ada bumbu. Dan seni adalah bumbu,” ujarnya. Seorang seniman, pada akhirnya, harus membuat lagu berdasarkan fikiran rakyat, bukan membuat lagu berdasarkan fikiran subjektif. Rakyat harus menangkap dari nada dan lirik lagu itu, bahwa “its our problem, its my song”. Liriknya harus mudah dipahami oleh rakyat, membekas dan terpatri dalam sanubarinya, dan pemilihan katanya harus memiliki energi yang kuat.
Tidak berbeda jauh dengan Franky Sahilatua, Ras Muhamad juga menegaskan pilihan pada musik perlawanan, dan konsekuensi dari pilihan itu adalah bermain di wilayah musik indie dan kalangan akar rumput. Sedangkan Cholil dari Efek Rumah Kaca, ketika diperhadapkan pada pilihan, menilai bahwa yang terpenting adalah bagaimana berfikir secara realistis dalam menunggangi industri untuk menjangkau massa luas. Baginya, karena cakupannya sangat luas, maka untuk sampai kepada musik perlawanan pun memerlukan tahapan; menggelitik, ingin tahu, menyadari, dan mulai berfikir bagaimana mengubah keadaan. Musik adalah awal yang baik dalam menciptakan bentuk politik yang relevan bagi kaum muda. Karena mau diabdikan kepada revolusi yang bersifat jangka panjang dan masa depan, maka musik harus terorganisasikan dengan baik.

SENI PERLAWANAN DOMINASI IMPERIALISME

Pada hakekatnya musik merupakan ekspresi seni setiap individu maupun kelompok. Dalam hal ini seni dalam bermusik merupakan ciri khas kelompok atau komunitas tertentu. Inti dari penelitian tugas akhir ini adalah mengangkat atau meneliti tentang komunitas musik SPOER yang sudah sekian lama berjuang bersama rakyat, dengan melahirkan beberapa lirik lagu yang bersifat progresif dalam melawan pengaruh setan globalisasi terhadap aspek kehidupan rakyat Indonesia. Sebelum penulis mengupas lebih jauh tentang perjuang spoer terlebih dahulu penulis akan menjelaskan tentang kontradiksi sejarah masyarakat Indonesia sehingga rujukan ini akan mengarahkan kepada kita kenapa band spoer itu di bentuk?

Top