ads

banner

Slider[Style1]

Style2

Style5

Ku dapati tubuhku terbaring lemah di pembaringan. Mata pun mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

Putih... ruangan itu tampak putih semua, benda-benda yang ada di situ pun terlihat terang. Aku bingung sendiri, di mana aku? Ku bangkitkan tubuhku, terasa sakit di sekujur, ku raba wajahku, ada benjolan di dahi dan bibir, ada balutan perban di pelipis kiriku. Aku hanya meringis menahan sakit. Ku perhatikan lagi seluruh keadaan seluruh tubuhku, lebam di sana-sini. Kembali ku edarkan pandanganku, ku raba semua kantong celanaku. Hilang...!! Dompetku, HP ku, tasku !! Hah...?

 *** 

Sekali lagi ku periksa dompetku begitu sampai di terminal. Alhamdulillah masih ada. Sebelum berangkat teman-temanku selalu berpesan agar aku berhati-hati di jalan, Jakarta adalah kota besar yang memiliki banyak macam tingkah polah manusia, dari yang baik sampai yang jahat, dari yang tinggal di apartemen sampai yang tinggal di kolong jembatan, dari orang yang bisa mengaku waras sampai orang yang mengaku gila. Ya, kebaikan sangat tipis jaraknya dengan kejahatan.


Salah satu temanku yang pernah ke Jakarta pernah kecopetan di dalam bus. ”Biasanya banyak copet beraksi di dalam bus, terlebih saat bus penuh dan para penumpang berdesak-desakan. Itu merupakan lahan empuk bagi para pencopet” kata temanku itu beberapa waktu lalu. Ku lanjutkan langkahku. Akhirnya ku injakkan juga kakiku di ibukota negara Indonesia ini. Aku berjalan di sekitaran terminal. Ku anggukkan kepalaku pada seorang pedagang asongan yang tampaknya sedang ngaso.

 “ Monggo mas..” kataku. Pedagang itu hanya menoleh kemudian melanjutkan pekerjaannya. Ah.., inikan Jakarta! Nggak pake "monggo" mestinya, aku tersenyum sendiri. Aku pun melangkah lagi, sebelum akhirnya ku dapati bus arah Ciputat.

Di dalam bus itu aku tak mau lengah, meskipun cape’ yang ku rasa saat ini. Tak ingin aku kecopetan seperti yang dialami temanku. Seorang ibu berperawakan agak gemuk tersenyum kepadaku. Ibu itu duduk persis di sebelah kiriku. Di pangkuannya ada tas besar yang entah isinya apa.

 “Adik mau ke mana?” Tanya ibu itu.
“Ciputat, bu” sahutku. Ibu itu tersenyum. Mungkin ibu itu menertawakan logatku yang Jawa banget. Ku perhatikan ibu itu. Meski sedikit gemuk, tapi ia terlihat cantik.

Lagi-lagi pesan teman-temanku terngiang di telingaku. “Kamu harus hati-hati, Rin, jangan lekas percaya pada orang,” pesan seorang teman menjelang keberangkatanku. “Ingat, Rin, kalau tidak terlalu penting, jangan ngobrol dengan sembarang orang di dalam bus. Apalagi kamu cewek, takut kalau kamu kena hipnotis nanti,” lanjutnya lagi. “Iya, tidak usah khawatir,” sahutku pada temanku itu singkat.

Aku maklum dengan kecemasannya yang berlebihan melepas kepergianku. Sebelumnya aku memang tidak pernah pergi ke Jakarta. Kalau pergi paling hanya di sekitaran Jogja. Maklum, aku hanya tahu Jogja meskipun sekarang kota itu sudah banyak mengalami perubahan, namun bagiku tetap berhati nyaman. Tapi kali ini aku terpaksa ke Jakarta, mengadu nasib di sana. Tak ada yang bisa menemaniku. Semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Udara sangat panas. Ku kipas-kipaskan koran yang ada di tanganku. Lumayan dapat menghadirkan sedikit angin untuk mengusir gerah.

 “Mau ngemil, dik?” Ibu itu menawarkan sebungkus kacang goreng kepadaku.

 “Terima kasih, Bu, saya masih kenyang.” Ku tolak halus tawaran Ibu itu. Aku tak mau ambil resiko dengan sembarangan menerima tawaran orang untuk makan, bisa jadi obat bius yang dimasukkan melalui makanan.

“Astaghfirullahaladzim…!” ucapku lirih. Aku tidak bermaksud berburuk sangka pada ibu itu, tapi aku hanya sekadar berhati-hati.

Bus berhenti. Ada penumpang yang naik. Seorang laki-laki berambut gondrong dan berpakaian agak lusuh. Sepertinya ia berasal dari golongan kelas bawah. Aku patut curiga dengan orang ini. Keterbatasan ekonomi mungkin saja membuatnya nekat. Hal-hal semacam itu sering aku lihat dalam tayangan kriminal di televisi. Jangan-jangan sasarannya kali ini adalah aku. Ih…aku bergidik. Jantungku berdetak makin cepat saat laki-laki itu memilih duduk tepat di sebelah kananku. Bau keringat menyeruak ke dalam penciumanku.

Ya Allah, lindungi aku. Ku pegang tasku erat-erat. Aku harus hati-hati dengan laki-laki ini. Sepanjang jalan perasaanku tidak tenang. Rasa hausku pun terpaksa ku tahan. Aku tak berani membuka tasku untuk mengambil air kemasan di dalamnya. Aku takut kalau laki-laki di sampingku tahu segala isi tasku. Ku lirik laki-laki gondrong di sebelahku. Ia diam terpaku di tempat duduknya, entah apa yang dipikirkannya. Selang beberapa jam, bus berhenti. Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya. Rupanya ia sudah sampai di tempat yang ditujunya. Aku menarik napas lega. Ku periksa tas kecilku. Alhamdulillah, dompetku masih ada. Ku reguk air kemasan yang ku beli di terminal tadi. Lumayan untuk mengusir rasa haus yang ku tahan sejak tadi. Ku lihat ibu di sebelahku begitu tenang terlelap. Suara bising dari pengamen di dalam bus seolah menjadi nyanyian pengantar tidurnya.

Untuk yang kesekian kalinya bus berhenti lagi. Seorang laki-laki seumuran kakakku masuk. Ia duduk di sebelahku. Pakaiannya bersih, rapi, dan wangi. Ia juga berkaca mata. Penampilannya sangat berbeda dengan laki-laki berambut gondorong tadi. Dari penampilannya, aku yakin bahwa ia orang baik-baik. Tak ada yang perlu ku curigai dari dia. Tapi bukankah banyak penjahat sekarang berpakaian rapi?

“Mau ke ciputat, Mbak?” tanyanya sopan.

“Iya, Mas,” sahutku ringan. Laki-laki itu hanya tersenyum.

 “Saya mau menjenguk saudara saya di Ciputat,” katanya. Aku senang, kali ini aku tidak perlu ketakutan seperti tadi. Aku aman. Kedua orang yang duduk di sebelahku adalah orang baik-baik.

Akhirnya aku tenggelam dalam obrolan-obrolan ringan bersama laki-laki yang baru ku kenal itu. Bus berhenti. Ku raba saku celanaku, hapeku masih ada. Kembali ku periksa tasku. Aku tersenyum lega. Alhamdulillah dompetku masih ada.

“Kenapa, Mbak?”.

“Oh…eh… anu..., Tidak apa-apa, Mas” Aku tersenyum malu. Rupanya laki-laki itu mengawasiku sejak tadi. Mungkin laki-laki itu heran melihatku yang selalu memeriksa tas.

“Anu-mu emangnya kenapa?” Laki-laki itu bertanya sambi tersenyum ke arahku. Aku jadi serba salah. Telingaku agak panas mendengar pertanyaannya. Apakah di Jakarta orang bebas bicara sesuatu yang mungkin kurang pantas? Mungkin wajahku saat itu bersemu merah, karena malu. “Kita memang harus hati-hati, Mbak, banyak copet di mana-mana.” Laki-laki itu seolah dapat menebak jalan pikiranku. “Kadang pencopet bisa berpura-pura sebagai orang baik dan mereka pun punya banyak cara untuk melancarkan aksinya” lanjut laki-laki itu lagi. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sepertinya laki-laki ini tahu banyak tentang seluk-beluk copet. Ah, mungkin dulunya ia pernah dicopet, ungkapku dalam hati.

*** 

Angin berhembus masuk melalui jendela bus. Pinggangku terasa sudah mulai penat karena terlalu lama duduk. Kalau saja bus yang ku tumpangi ini tidak sering berhenti, sudah sejak tadi aku tiba di Ciputat. Ku lirik arloji di pergelangan tanganku. Pukul 09:00 WIB. Laki-laki di sebelahku tertidur sejak tadi. Mungkin ia kelelahan sehingga tidak sanggup menahan kantuknya.

Bus kembali berhenti untuk menaikan penumpang. Ku harap ini adalah terakhir kalinya bus berhenti sebelum tiba di Ciputat. Tiga orang penumpang naik. Sepasang suami istri yang masih muda beserta anak mereka yang masih balita.

“Mas dan Mbak silakan duduk di sini, biar saya yang berdiri” Naluri kemanusiaanku muncul. Aku tak tega melihat mereka berdiri. Istrinya sedang hamil, sementara anaknya sedang terlelap dalam gendongan ayahnya.
“Terima kasih, Dik.” Mereka tersenyum ramah kepadaku. Tak ada yang perlu ku curigai dari mereka. Alhamdulillah, aku senang, ternyata kekhawatiran teman-temanku tidak terbukti. Tak ada copet atau pun tukang bius di dalam bus yang ku tumpangi ini.

 Bus sudah memasuki Pondok Indah. Bus kembali berhenti. Beberapa penumpang naik. Tak lama bus itu jalan lagi. Ternyata laki-laki yang tadi menjadi teman ngobrolku beserta satu orang penumpang lainnya turun. Lumayan lelah juga berdiri, tapi tak apalah, sedikit berkorban untuk orang yang lebih memerlukan.

Selang beberapa menit kemudian, perlahan bus memasuki terminal. Penumpang berdesakan turun. Ku apit tasku kuat-kuat, tak akan ku biarkan tangan jahil menjarahnya. Si ibu hamil itu pun hendak turun tampaknya. Aku segera mengisi bangku kosong yang ditinggalkan ibu itu. Namun ibu itu tak juga turun meskipun sudah di depan pintu. Ia tampaknya kebingungan, ku perhatikan gerak-geriknya, tiba-tiba tanpa ku duga sebelumnya ibu itu menudingku.

 “Copet... “ teriaknya mengejutkanku. Penumpang yang lain sontak melihat ke arahku, mereka pun beraksi. Aku tak bisa mengelak ketika sebuah pukulan melayang di tengkukku.

“Periksa tasnya..”, teriak ibu itu

“Nggak nyangka, cantik-cantik maling...” teriak yang lain sembari memberikan pukulan dan tendangan ke tubuhku. “Lihat kantongnya” teriak sopir dari depan.

“Aku bukan copet... bukan...” Aku membela diri sambil menghindari pukulan yang bertubi-tubi dari penumpang yang lain. Namun cengkraman seorang pemuda di tanganku semakin membuatku tak berdaya. Tas di tanganku pun hilang entah ke mana.

BUK! Sebuah tendangan keras mendarat tepat di ulu hati. Aku hanya bisa mengaduh kesakitan. Jambakan, pukulan hingga tendangan tak bisa ku hindari. Tak ada yang mau menolongku, hanya kebencian dari wajah mereka begitu melihatku.. Satu pukulan lagi mendarat di bibirku, darah pun mengalir. Aku tersungkur, Penglihatanku berkunang-kunang menggulita, gelap pun menghampiri.


Wins '09

About official SPoeR

SPOER -Seni Perlawanan Oleh Rakyat-
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama
0 Comments
Komentar

Tidak ada komentar:

Post a Comment


Top