Musik telah menjadi bagian dari revolusi sejak awal. Tidak ada revolusi tanpa komunikasi dan debat, dan musik adalah bagian dari hal itu. Kita bisa mengenal deretan pemusik yang telah menjadi bagian dari inspirasi revolusi, seperti Victor Jara di Chile, Silvio RodrÃguez di Cuba, Karel Kryl di Czechoslovakia, Jacek Kaczmarski di Polandia, dan Vuyisile Mini di Afrika Selatan. Di belahan dunia barat, nama John Lennon dan Bob Dylan menjadi inspirator utama dari pergerakan kaum muda dan kelas pekerja.
Di Indonesia, terutama dalam pergerakan nasional, nama WR Supratman cukup terkenal dan lagunya “Indonesia Raya” menjadi lagu pergerakan nasional saat itu. Ketika situasi revolusioner sedang memuncak paska Kemerdekaan, salah satu lagu pembakar semangatnya adalah lagu “darah rakyat”. Menurut Soe Hok Gie, dalam rapat akbar di lapangan Ikada, lagu “darah rakyat” dibagikan kepada ratusan ribu massa dalam bentuk pamflet dan dinyanyikan secara bersama-sama.
Memahami arti penting musik dalam perjuangan kemerdekaan, JAKER telah mengumpulkan sejumlah seniman progressif untuk berbicara, diantaranya Ras Muhamad, Franky Sahilatua, Cholil Efek Rumah Kaca, dan Rizal Abdulhadi. Mereka berbicara mengenai perkembangan musik kontemporer, jebakan industri musik, dan bagaimana melahirkan pergerakan musik revolusioner. Hadir pula penulis buku “Soekarno dan perjuangan kebudayaan”, Nurani Suyomukti, khusus berbicara mengenai arti penting musik dalam kerangka perjuangan ideology kelas.
Menurut Nurani, industri bukan hanya mengkomersilkan seni, tetapi telah menjadi aparat ideology kelas berkuasa untuk menaklukkan kesadaran rakyat. Nurani memang betul, seperti juga dikatakan Louis Althuser, bahwa seni komersil telah menjadi apparatus ideologis klas borjuis untuk reproduksi sosial sistem kapitalisme. “Musik komersil benar-benar tidak manusiawi” kata Nurani. “Musik tidak pernah netral,” kata Nurani, “mereka selalu menjelaskan keberpihakan kepada klas sosial tertentu”.
Dalam masyarakat kapitalis, musik berfungsi bukan hanya sebagai mesin mencari keuntungan (akumulasi profit), namun telah menjadi instrument integrasi sosial di bawah dominasi ideology klas berkuasa. Kalangan liberal selalu berlindung di balik “kemurnian bermusik”, bahwa musik adalah musik, tidak ada politik, ideology, dan kepentingan apapun di dalamnya selain kepentingan estetik dan naluri seorang pemusik. Pada kenyataannya, musik adalah produk dari refleksi fikiran (otak) manusia terhadap keadaan sekitarnya, tidak mandiri, dan selalu terikat dengan ideology klas tertentu.
Dalam kaitan ini, Nurani hendak membuktikan bahwa penghancuran karakter kaum muda Indonesia saat ini, sedikit banyaknya, terkait dengan hegemoni musik “sampah” yang disebar-luaskan oleh industri musik. Seorang pelajar, misalnya, lebih menghafal lagu-lagu dari band-band yang sedang nge-trend, seperti Kangen Band, ST-12, Hijau Daun, Kuburan Band, dsb. daripada lagu-lagu nasional dan kebangsaan. Bahkan, karena derasnya serangan hegemonik industri musik tersebut, anak kecil pun terbawa oleh pengaruh lagu cemen—demikian Nurani menyebutnya. Untuk itu, Nurani menganjurkan agar kalangan pergerakan tidak menafikan arti penting lagu-lagu perlawanan, sebuah anti-tesa terhadap lagu-lagu dari pasar mainstream.
Lagu-lagu perlawanan di sini bukan hanya lagu-lagu ciptaan para aktivis, tetapi juga lagu-lagu rakyat di berbagai daerah yang memiliki kandungan progresivitas. Nama “Marcus Garvey”, kalau tidak ada musik Bob Marley, maka anak muda di jaman sekarang tentu sedikit sekali yang mengenalnya. Dengan kehadiran Bob Marley untuk menyanyikan lagu-lagu reggae dan mengangkat begitu banyak soal filosofi sosial, maka anak muda bisa banyak belajar dari ajaran-ajaran Garvey, dan terutama sekali mengenai sikap anti-imperialismenya.
Musik reggae bukan hanya menjadi inspirasi bagi “Pan African” dalam melawan neo-kolonialisme, tetapi telah menjadi “identitas” dunia ketiga yang berhasil menembus dunia Eropa dan negara kapitalisme maju. Itulah musik reggae, salah satu genre musik perlawanan sejak awalnya. Ras Muhamad, salah satu pemusik Reggae Indonesia mencoba untuk mengambil pelajaran dari Bob Marley, filosofi Haile Selassie dan tidak ketinggalan tokoh pembebasan nasional Indonesia, Bung Karno. “Musik harus memiliki nilai fighting spirit,” kata Ras Muhamad.
Musik Reggae, kata Ras Muhamad, telah berevolusi bersama dengan perjuangan rakyat Afrika dan dunia ketiga. Reggae politik pernah tumbuh subur dengan tokoh-tokohnya seperti Bob Marley, Peter Tosh, Winston Rodney alias Burning Spear, dan kemudian Jimmy Cliff dan, di London’s Brixton, Kwesi Linton Johnson – yang juga sangat dipengaruhi oleh kemenangan perjuangan anti-kolonial yang melanda Afrika tahun 1960-an dan perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan.
Dalam perjuangan, menurutnya, musik harus ambil bagian secara langsung dan, terutama, menjadi alat untuk menyadarkan dan menggerakkan massa rakyat. Tidak heran, Ras Muhamad pernah membuat lagu berjudul “Siempre”, mengisahkan mengenai perjuangan Che Guevara sebagai tokoh pembebas kaum tertindas, dan lagu ini untuk menginspirasikan kepada kaum muda untuk melakukan yang sama dengan Che. Dalam album Next Chapter, Ras Muhamad dengan terang-terangan mengarahkan “bedil” perlawanan kepada politisi korup, musik komersil, dan kapitalisme. “musik reggae harus bergandengan tangan dengan perjuangan rakyat,” tegasnya. Untuk diketahui, Ras Muhamad adalah pengagum berat Bung Karno, dia menyimpan sejumlah koleksi-koleksi mengenai fikiran dan gagasan-gagasan tokoh pembebasan nasional ini. Ras muhamad mengutip Bung Karno, bahwa seni harus membentuk kepribadian bangsa yang sejati, progressif, dan anti imperialisme.
Sementara Cholil (Efek Rumah Kaca) tidak berbeda jauh secara prinsip dengan Ras Muhamad, ia hanya menekankan soal metode bagaimana musik bisa membangkitkan dan menggerakkan massa rakyat. Dalam lagu-lagunya, meskipun sudah bisa bertarung di jalur mainstream, namun tetap menyertakan kritik-kritik sosial yang tajam. Selain topik hak asasi manusia seperti pada lagu Di Udara, Efek Rumah Kaca, yang beranggotakan Cholil, Adrian (bas), dan Akbar (drum), punya lagu lainnya yang sarat akan kritik sosial. Sebut saja, misalnya, Jalang, yang mengkritik Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi; Belanja Terus Sampai Mati tentang budaya hidup konsumerisme; dan Cinta Melulu, yang mengkritik industri musik pop yang mayoritas mengangkat tema cinta. “Seolah-olah tidak ada tema lainnya,” kata Cholil.
Terkait dengan musik perlawanan, Cholil mengatakan; “Mungkin musik harus “menggelitik” dahulu bahwa ada sesuatu yang salah, belum sampai pada perlawanan. Dengan begitu, karena genre pop peminatnya sangat besar, maka kita juga bisa menggelitik orang dalam jumlah besar”. Menurut Cholil, kita memang bisa menunggangi “industri” untuk menyampaikan pesan kepada banyak orang, tetapi ini bisa membawa konsekuensi: kita tetap konsisten dengan prinsip ataukah justru terkontaminasi dan terbawa pengaruh. “Ini tergantung kepada seberapa kuat kita mempertahankan prinsip,”tegasnya. Secara pelan-pelan, menurut Cholil, orang mulai mencari tahu mengenai isi lagu itu, apakah ada yang salah dengan keadaan, sehingga mulai membentuk sebuah “kesadaran baru”. Jadi, kesadaraan itu bisa muncul melalui instrumen media kapitalis. “mereka pemusik mainstream kan hanya menjadi pedagang”, kata Cholil, “jadi susah untuk berbicara musik dengan pedagang.
Dalam industri musik, soal skill menjadi tidak terlalu penting, asalkan nadanya indah, punya modal, menguasai marketing, dan bersedia dikendalikan oleh pasar. “Kalau musik perlawanan akan meluas, maka pasar akan berupaya untuk merangkulnya,” katanya. Pendapat lebih tegas datang dari Rizal Abdulhadi, seorang baladis muda yang sangat mengagumi pemusik revolusioner Chile, Victor Jara. Dia menganggap musik seperti “kompor” yang terus membakar semangat revolusioner massa. Lebih jauh, Rizal menekankan pentingnya teori 1-5-1 dalam berkarya, yaitu politik sebagai panglima, meluas dan meninggi, prinsip 2 T (tinggi mutu ideology dan tinggi artistic), memadukan antara realisme revolusioner dan romantisme revolusioner, Memadukan tradisi baik dengan kekinian revolusioner, dan Turun ke bawah (Turba).
Musik revolusioner sangat dipengaruhi oleh situasi revolusioner,” kata Rizal, “sehingga wajar kalau musik revolusioner agak tenggelam di masa tidak revolusioner seperti saat ini”. Tugas musisis revolusioner, menurut Rizal, adalah tetap berkarya dan terus membangkitkan kesadaran massa rakyat. Peranan musik yang begitu kuat dalam perjuangan diutarakan oleh Franky Sahilatua, bercermin dari pengalaman WR. Supratman dan lagu “Indonesia Raya”-nya dalam perjuangan pembebasan nasional di Indonesia. “ketika deklarasi sumpah pemuda tahun 1928, para pemuda-pemudi hanya mendengar nadanya saja, namun mereka bisa begitu tergugah dan semakin bersemangat untuk memperjuangkan Indonesia Merdeka,” ungkapnya.
Lagu “Indonesia Raya”, katanya, merupakan salah satu petunjuk jalan bagi tokoh pergerakan saat itu mengenai Indonesia di masa depan—Indonesia merdeka. Pada tahun 1996, Franky mencipta lagu berjudul “Perahu Retak”, sebuah lagu yang turut menginspirasi kaum muda di gang-gang sempit dan pemukiman kumuh dalam perjuangan melawan kediktatoran Orde Baru. “Lagu itu saya buat hanya beberapa hari menjelang peristiwa 27 Juli 1996 di Kantor PDIP Perjuangan, Jalan Diponegoro,” kata Franky mengenang peristiwa itu.
Menurut Franky, sebuah nada akan memiliki energi kalau enak di dengar dan akrab di telinga rakyat, dan sebuah lirik juga akan berenergi jikalau itu mencerminkan keresahan dan kehendak rakyat. Soal musik, Franky membagi menjadi dua kutub; ada pohon musik pop dan ada pohon musik perlawanan. Usaha untuk memadukan kedua pohon ini merupakan sesuatu yang sulit, apalagi hari ini. Pada masa Orde Baru, menurut Franky, kedua pohon ini masih berdempetan atau berdampingan secara dekat, sehingga memungkinkan untuk menunggangi pohon pop untuk menyuarakan perlawanan. Sekarang ini situasinya sudah berbeda, pohon musik pop dan musik perlawanan sudah terpisah sangat jauh, sehingga kita harus memilih secara tegas; bermusik untuk menciptakan uang atau bermusik untuk menciptakan sejarah. Disamping itu, menurutnya, pemusik harus bisa mengikuti perkembangan keadaan dan mengerti bagaimana cara membaca keadaan. Dia mencontohkan, lagu “darah juang” sangat cocok pada masa kediktatoran, situasi senyap, namun sekarang kurang tepat. Sekarang ini, menurutnya, kita memerlukan musik yang menghentak, yang membangkitkan rakyat dari tidurnya. “Anda adalah tempe, daging, tahu, sayur, tetapi akan menjadi hambar rasanya kalau tak ada bumbu. Dan seni adalah bumbu,” ujarnya. Seorang seniman, pada akhirnya, harus membuat lagu berdasarkan fikiran rakyat, bukan membuat lagu berdasarkan fikiran subjektif. Rakyat harus menangkap dari nada dan lirik lagu itu, bahwa “its our problem, its my song”. Liriknya harus mudah dipahami oleh rakyat, membekas dan terpatri dalam sanubarinya, dan pemilihan katanya harus memiliki energi yang kuat.
Tidak berbeda jauh dengan Franky Sahilatua, Ras Muhamad juga menegaskan pilihan pada musik perlawanan, dan konsekuensi dari pilihan itu adalah bermain di wilayah musik indie dan kalangan akar rumput. Sedangkan Cholil dari Efek Rumah Kaca, ketika diperhadapkan pada pilihan, menilai bahwa yang terpenting adalah bagaimana berfikir secara realistis dalam menunggangi industri untuk menjangkau massa luas. Baginya, karena cakupannya sangat luas, maka untuk sampai kepada musik perlawanan pun memerlukan tahapan; menggelitik, ingin tahu, menyadari, dan mulai berfikir bagaimana mengubah keadaan. Musik adalah awal yang baik dalam menciptakan bentuk politik yang relevan bagi kaum muda. Karena mau diabdikan kepada revolusi yang bersifat jangka panjang dan masa depan, maka musik harus terorganisasikan dengan baik.